Cerita Silat
Advertisement

Tokoh utama Thio Fei/ Siauw Fei Ilmu : jit seng poh, cui jit kiam hoat, thian liong kunhoat, kiu jit sin kun,kong jit sinkang. Guru : Song bun liong “mengisahkan perjalanan Thio Fei dalam berkelana didunia kangouw, dalam membasmi suatu organisasi kejahatan yang meraja lela pada waktu itu” ( sudah sedari kecil demen membaca, kebetulan hari ini merasa iseng, ingin memulai menulis sesuatu, semoga bisa saya selesaikan :) )

Prolog. Musim Semi datang pepohonan mulai menghijau , dedaunan muda memperlihatkan semangat hidup yang kuat dari tetumbuhan yang bertahan dari ganasnya musim gugur dan musim dingin yang panjang, bertahan untuk terus hidup melewati derita yang mendera. Di puncak bukit ji liong san, tebaran sesemakan yang mulai menghijau sangat menawan mata, dihiasi sungai kecil yang mulai gemericik mengalirkan air yang dihangatkan oleh sinar matahari yang congkak mengumandangkan kekuasaannya atas musim.

Sebuah pondok kayu sederhana berdiam di keheningan pagi puncak ji liong san yang terus berdiam diri, merenungkan tingkah polah kehidupan manusia yang terasa menggelikan. Seorang kakek tua dengan raut wajah penuh keriput, bersorot mata penat, lelah oleh kehidupan yang terasa sangat panjang dan penuh beban, beberapa lembar bulu jenggot putih di dagunya, punggung yang mulai membungkuk dan kulit berwarna agak gelap, yang menunjukan tahun – tahun panjang yang dilewati dibawah sengatan matahari, mengawasi dengan seksama seorang lelaki remaja yang seperti sedang bermain loncat – loncatan yang dilakukan dengan gerakan berirama. Sepasang kelinci yang sedang bermain di sesemakan memandang dengan mata bulat besar mereka, mungkin merasa heran, sekaligus lucu melihat remaja yang berloncat – loncatan sendirian dengan menggendong sebuah karung yang sepertinya berat penuh dengan beban. Sayang, sepasang kelinci itu hanyalah binatang yang tidak memahami ilmu silat, seandainya yang melihat peristiwa tersebut adalah seorang manusia, terlebih manusia yang memahami ilmu silat, matanya pasti terbelalak melihat seorang remaja berumur 12an tahun, dengan beban berat di punggung sanggup meloncat 2x dengan sedemikian lincah dan cekatan.

Remaja tanggung itu memiliki sorot mata yang jernih, dan tenang, terlihat focus pada apa yang sedang dia kerjakan. Dengan wajah kotak, sepasang alis berbentuk golok melindungi sepasang matanya, dengan bangun tubuh kokoh kuat untuk anak seusianya, mulut terkatup rapat serta dagu menggambarkan kekerasan hati orangnya. Tidak memperdulikan alam yang indah di sekitarnya, seluruh perhatiannya terfokus pada latihan yang sedang di jalaninya. Setelah sekitar 2 jam-an dia berlatih, remaja tersebut melakukan salto yang indah, dan mendarat di depan kakek tua yang sedari tadi memperhatikan latihannya.

“Suhu, menurut suhu, bagaimana perkembangan jit seng poh ( langkah tujuh bintang) yang teecu latih tadi ?”, secepat dia mendarat di depan kakek tua tersebut, seketika itu dia bertanya kepada si kakek tua yang ternyata adalah suhunya. Kakek tua itu memandang sang murid, setelah sejenak terpekur, dia membuka mulutnya “ sudah cukup bagus Fei ji, sudah cukup bagus.., tidak sia – sia waktu dan upaya yang telah kau habiskan selama ini untuk melatih jit seng poh itu, ilmu itu mulai sempurna kau kuasai. Sepertinya kau sudah siap untuk berlatih ilmu – ilmu yang lain. Mulai besok, kau bisa mulai mempelajari cui jit kiam hoat, sekarang beristirahatlah dulu.” Sepasang manusia beda usia tersebut melangkahkan kakinya memasuki pondok.

Siapakah sebenarnya mereka berdua?, bagi insan sungai telaga kakek tersebut dikenal dengan julukan song bun liong ( sinaga berkabung ) seorang bulim cianpwee yang sangat dihormati diwilayah tembok besar. Sudah 8 tahunan ini song bun liong menghilang dari dunia kang ouw, menyepi di ji liong san untuk mendidik murid tunggalnya yang di temukannya di sebuah desa yang menjadi korban keganasan perampok yang banyak meraja lela pada saat itu. Melihat seorang anak lelaki berusia 4 tahunan menangis menggerung – gerung sambil menelungkup di atas mayat sesosok wanita, song bun liong merasa tersentuh dan memutuskan untuk mengambil dan merawat anak tersebut. Pada waktu song bun liong menanyakan namanya anak tersebut hanya ingat bahwa dia sering di panggil dengan panggilan Siauw Fei. Semenjak itulah song bun liong memutuskan untuk menyepi di puncak ji liong san untuk mendidik muridnya tersebut.

Didalam pondok, siauw fei dan suhunya duduk berhadapan diatas meja rendah menghadapi makanan sederhana yang telah siauw fei persiapkan sebelumnya. Sembari makan kakek song bun liong memberikan wejangan kepada murid tunggal yang telah dianggapnya sebagai putra sendiri tersebut. “ Fei ji, hari ini lohu lihat, jit seng poh, sebagai dasar ilmu aliran kita sudah kau kuasai dengan cukup sempurna, kong jit sinkang yang telah kau latih sejak delapan tahun lalu pun sudah mulai memperlihatkan hasilnya, dan lohu anggap sudah cukup untuk mempelajari cui jit kiam hoat dan thian liong kun hoat kita. Malam ini, lohu akan mulai menerangkan teori dasar dari ke 2 ilmu tersebut, dan besok pagi, kau bisa mulai melatihnya.” Siauw Fei mendengarkan dengan seksama kata – kata sang guru, dan berjanji pada diri sendiri untuk belajar sungguh – sungguh agar sang suhu yang juga merupakan penolong hidupnya, tidak merasa kecewa.

Advertisement