Cerita Silat

BAB 00 - Prolog

KNPG

Malam ini seharusnya rembulan bersinar terang. Namun malam purnama di awal masa Warsa ini tertutupi oleh awan hujan yang pekat yang memenuhi langit di malam itu. Hanya sedikit di bagian-bagian langit yang berawan tipis saja, sang puteri malam mampu menyusupkan cahayanya. Suasana sungguh angker dengan bertiupnya angin dingin yang membelai-belai bulu kuduk.

Binatang malam pun seolah segan mengunjukan nyanyian khasnya yang biasanya memekakan telinga di malam yang cerah. Auman serigala dan jeritan anjing tanah serta serangga malam lainnya tak terdengar suaranya sama sekali. Hanya dengkuran suara burung hantu yang sayup-sayup terdengar di sekitar itu seolah menggambarkan kengeriannya.

Dalam suasana yang mengerikan tersebut, terlihatlah kelebatan-kelebatan gerak dari dua sosok yang berlari cepat saling susul-menyusul menuju puncak bukit di daerah Karangpucung bagian utara. Mereka berlari kencang seolah langkah-langkahnya tidak sempat menjejak tanah.

Setiba di atas puncak bukit yang dituju, mereka serentak berhenti dan langsung merunduk dalam sikap memuja. Padahal di hadapan mereka tidak terlihat adanya orang yang telah menunggu. Hanya onggokan batu-batu besar yang terlihat menjulang dalam bayang-bayang kegelapan malam. Namun begitu kedua orang itu terlihat begitu khidmat. Dan seiring saat berjalan, sujudan mereka pun kini seolah tak kelihatan karena terbaur dengan onggokan-onggogan batu yang sebesar manusia.

Terus saja mereka dalam sikapnya, maka terlihatlah datangnya bayangan gelap melayang dari arah barat yang melebihi gelapnya awan di langit. Bayangan itu bergerak cepat kearah mereka dan turun di atas puncak batu yang besar tinggi. Ternyata ia adalah seorang lelaki tua dengan pakaian jubah yang besar.

“Guru, terimalah sembah dan hormat kami. Kami sudah memenuhi titahmu untuk menghadapmu di malam ini. Apakah keadaan guru selama ini baik-baik saja?”

Dua orang yang bersujud itu serempak berkata demikian. Dari suaranya mereka adalah laki-laki. Selesai bicara keduanya pun bangun dan berduduk menghadap orang yang disebutnya guru itu.

Orang di atas batu perdengarkan tawa panjang. Suaranya keras dan menggema bagaikan tertawa orang di dalam gua yang luas. Dengkuran suara burung hantu pun, satu-satunya suara yang terdengar di malam itu, seketika terdiam. Dengan demikian dia dapat dipastikan memilki ilmu tenaga dalam yang sangat tinggi.

“Lima tahun berkelana di rimba hijau, apakah kalian sudah cukup pandai memandang dunia?” bukan menjawab kedua muridnya yang menanyakan kesehatannya, ia justeru bertanya demikian.

“Kami sudah banyak bertemu orang-orang persilatan, mulai dari yang kepandaiannya biasa saja sampai dengan mereka yang begitu tangguh.” Si murid yang sebelah kiri, yang menggundulkan kepalanya menjawab.

“Guru, maafkanlah kami yang bodoh ini!” si murid yang sebelah kanan menyambung.

“Siapa orangnya yang begitu mempersulit kalian?” sang guru cepat memotong dengan pertanyaan. Rupanya ia mengerti maksud permohonan maaf dari muridnya.

“Ia berasal dari daerah hilir aliran sungai Cijulang,,,,,” sang murid menjawab tapi gurunya cepat memotong.

“Nyai Lara Baya…” ucapan sang guru terdengar datar dan sinis.

“Benar.” jawab muridnya.

“Apakah ia melukai kalian?” susul tanya sang guru.

“Untungnya tidak sampai demikian.” Si murid yang berkepala gundul yang kembali menjawab.

“Dia memang bisa jadi ancaman yang menyulitkan untuk rencana kita selanjutnya.” Ucapan sang guru kini terdengar rendah. Kedua muridnya berfikir tidakkah ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru karena wanita yang disebutnya.

“Guru, apakah kami perlu membunuhnya?” murid yang sebelah kanan bertanya. Nadanya begitu tinggi dan bersemangat. “Sehebat apa pun dirinya, mustahil tak dapat ditaklukan.”

“Hindari dia! Jauhi urusan dengannya!” gurunya mencegah. Nada ucapannya juga datar.

Kedua muridnya terdiam tidak mengerti. Mereka memang tahu adat gurunya yang keras. Tak boleh mereka melanggar terhadap segala kamauan dan perintah darinya. Dengan itu kedua murid hanya bisa menurut. Dalam keadaan yang hening tiba-tiba sang guru perdengarkan dengusan keras.

“Dengarkan aku baik-baik!” ia berkata dengan nada yang hampir membentak. Lalu menceritakan sesuatu hal.

“Leluhur kita adalah Wira Agniputera. Seorang pendekar terhebat yang memimpin dunia persilatan pada masanya di ratusan tahun yang lalu. Orang begitu segan dan hormat kepadanya. Semua pendekar tunduk terhadapnya. Ia pun dapat hidup layaknya seorang raja bagi dunia persilatan.” Sang guru sesaat hentikan ceritanya. Ia putar badannya membelakangi kedua muridnya. Terlihat bila dalam hatinya ia menyimpan penyesalan.

“Namun sampai saat ini tiada satu pun penerusnya yang dapat menyamainya.” Sang guru lanjutkan ceritanya. Nada ucapannya terdengar begitu penuh kekecewaan. “Bukankah itu sangat memalukan baginya. Bahkan kini dalam dunia persilatan, kehormatannya seolah di campakan. Guruku adalah muridnya generasi ke-enam, justeru sering menerima penghinaan dari para pendekar empat partai besar.”

Kedua muridnya mendengarkan dengan baik-baik. Selama bertahun-tahun dulu mereka dididik oleh sang guru, tak pernah sang guru menceritakan hal itu. Kini mengetahui bahwa leluhurnya adalah orang terhebat, rasa bangga pun tumbuh di dalam dada keduanya. Meski memang, rasa kecewa pun ada karena sampai kini para penerusnya belum ada yang mampu mewarisi nama besar sang leluhur, tapi dengan itu bukankah jalan begitu terang. Jika kepandaiannya pernah teruji menjadi yang terhebat, bukankah tidak akan sulit untuk mengembalikanya kembali sebagai yang terhebat.

“Aku penerus dari pendekar besar Wira Agniputra generasi ke-tujuh akan mengembalikan kejayaan nama besarnya. Dunia harus jatuh dalam genggamanku.” Dia meneruskan kata-katanya setelah sesaat berdiam lagi. tangannya diangkat menyongsong langit dengan kedua tinju terkepal. “Kalian sebagai murid generasi ke-delapan menjadi ujung tombakku.” Ia kembali membalikan badan.

“Guru, kami siap mewujudkan maksud agungmu.” Kedua murid itu serentak berkesanggupan demikian. Dasarnya pun mereka memang memiliki ambisi yang besar.

“Bagus. Kalian adalah murid-murid yang pandai.” Sang guru memuji. “Selama lima tahun aku suruh kalian berkelana adalah untuk mengambil pelajaran betapa ganasnya rimba hijau. Karenaya ku suruh kalian kembali untuk ku ingatkan beberapa hal.”

Kedua muridnya hanya menganggukan kepala, sang guru tertawa. Ia susul dengan berkata “Kekuatan adalah modal tekad kita. Tapi tidak semua orang dapat ditaklukan dengan keperkasaan. … Kecerdasan dalam mengatur taktik yang harus kalian kedepankan. Bertindak dengan rapih dan jangan terburu-buru.”

“Guru, kami mengerti dan menurut padamu. Kami siap mengabdi padamu.” Kedua murid itu serempak berkata lagi.

Guru itu tertawa dan memuji. “Bagus. Bagus.” Lalu ia teruskan dengan bertanya “Setelah ini, apa yang akan kalian perbuat terhadap keempat partai besar?”

“Kami tidak akan menangkap harimau sebelum mendapatkan kerangkeng yang besar dan kuat.”

Sang guru tertawa perlahan dan kembali memuji. “Bagus. Bagus. Sekarang aku tidak khawatir kalian akan bertindak ceroboh.” ia menghela nafas dalam sebelum berkata lagi. "Untuk menaklukan seorang lawan, jangan pernah berfikir untuk menaklukan seorang manusia, karena yang akan kau hadapi adalah sekumpulan orang-orang yang akan memerangimu dari berbagai arah dengan berbagai cara. Jika kau hanya memiliki dua tangan, jangan gunakan tanganmu untuk menyerang."

“Guru boleh berlega hati.”

“Aku percaya kalian. Tapi satu hal lagi ku ingatkan, hindari adik seperguruanku. Jika ia berani usil, aku sendiri yang akan menghadapinya.”

Habis mengucapkan pesan terakhir itu, sang guru membalikan badan. Jubah besarnya bergerak dan angin pun seolah menyapu seantero tempat itu dari atas langit. Sungguh pengaruh tenaga dalam yang begitu besar. Maka sekejapan mata kemudian terlihat sosoknya sudah kembali melayang pergi, meninggalkan murid-muridnya dengan beban tugas yang besar.

“Adik, guru bicara sedikit, tapi maknanya begitu banyak. Kita harus mengatur diri baik-baik.” Yang menjadi murid tua rupanya adalah lelaki yang sebelah kanan. Ia bicara demikian kepada adik seperguruannya.

“Aku mengerti. Cobalah kakak jelaskan rencana kita setelah ini!” si adik yang berkepala gundul itu menyahut.

“Aku sadari bakatku terbatas. Kepandaian guru hanya sedikit yang dapat ku pelajari. Mengingat itu aku punya satu rencana.”

“Kakak, kau jangan terlalu merendah!”

“Begini, kau sebaiknya bertapa saja! Teruslah melatih kepandaian yang diwariskan oleh guru agar kau semakin tangguh. Sementara biarlah aku sendiri yang berkelna untuk menaklukan lawan-lawan yang segenerasi. Bila aku tak mampu, barulah aku akan menghubungimu untuk turun tangan. Bukankah hebat jika dibelakang ular ada naga yang tertidur.”

Sang adik seperguruan tertawa kagum dengan pemikiran kakanya, tapi ia susul bertanya, “Rencana kakak benar-benar cerdas. Hanya saja apakah aku tidak akan terlihat terlalu bermalas-malasan?”

“Ah, masa kau lupa perkataan guru…. Dengan kecerdasan, bertindak rapih dan tidak terburu-buru.”

“Baiklah jika begitu rencana kakak, aku menurut.” Kedua saudara seperguruan itu akhirnya sepakat.
* * *